Pidato Kebudayaan Sutardji Calzoum Bachri di acara "Mengenang Chairil Anwar" 1
Puisi adalah salah satu buah prima dari suatu pohon budaya.
Puisi adalah salah satu buah prima dari suatu pohon budaya.
Catat! “Puisi adalah salah satu buah prima dari suatu pohon budaya”. Maka itu kita perlu merayakan puisi maupun di.. [9:22]. Jadi jangan hanya Chairil Anwar saja, ada Menwa [9:27] dan sebagainya, yang kemudian mati juga, beberapa bulan kemudian saya tidak dengar itu..
(hadirin tertawa)
Puisi adalah salah satu buah prima dari suatu pohon budaya. Jika puisinya prima, maka budaya yang menghasilkannya dianggap prima juga. Puisi Chairil menganut energi, vitalitas serta sikap individualisme Barat, membuktikan pohon budaya Barat yang diidam-idamkan Takdir Alisjahbana bisa sukses ditanamkan di Indonesia. Karya Chairil memberikan kemenangan pada Takdir Alisjahbana. Perjuangan Takdir bertahun-tahun sejak pujangga baru dimenangkan dewan generasi sastra berikutnya, yaitu generasi angkatan 65, Chairil Anwar.
Sejak zaman pujangga baru, Takdir telah memiliki resep yang diambil dari Barat. Sayangnya, Takdir bukan koki handal. Chairil sebagai master chef lebih ulung. Dengan piawainya dia memasak makanan lewat resep Takdir. Sajak-sajak Chairil menjadi makanan jiwa, yang memang telah ditunggu-tunggu oleh bangsa yang penuh dengan—istilah Chairil sendiri—keremajaan ini, yang dengan lahapnya mencari dan mencerna nilai-nilai baru.
Chairil Anwar, penyair pesanan. Kiranya penyair pesanan bukanlah julukan yang bergengsi. Tapi jika yang memesan adalah zaman dan bangsanya, cerita menjadi lain.
(hadirin tepuk tangan)
Sebagai penyair yang dipesan dan ditunggu-tunggu semangat zaman dan bangsanya, Chairil bukan hanya bergengsi, tetapi dia juga pahlawan. Ia pahlawan yang proses pembentukan semangat misinya itu sama dengan proses dan semangat kelahiran kemerdekaan bangsa ini. Suatu proses yang bermula sekitar pujangga baru, dengan ayahnya Takdir Alisjahbana, dan sampai ke zaman revolusi fisik.
Kita tahu proses kemerdekaan ini adalah sama dengan proses pujangga baru. Boedi Oetomo didirikan, kemudian hanya beberapa tahun kemudian muncul prapujangga baru, kemudian muncul pujangga baru. Mereka ini semuanya berjuang bukan hanya untuk puisi, tetapi untuk mendirikan kesatuan kebangsaan. Kita ingat bagaimana Muhammad Yamin; mula-mula kebangsaannya hanya sekitar Sumatera Barat. Tanah airnya Minangkabau. Kemudian dia bikin sajak, tanah airnya itu Sumatera. Kemudian berubah lagi, tanah airnya Indonesia.
Muhammad Yamin ini adalah salah satu conceptor dari Sumpah Pemuda. Dan harus ingat saya berulang-ulang mengatakan, Sumpah Pemuda adalah sebuah puisi. Karena segala apapun yang ada dalam Sumpah Pemuda itu adalah imajinasi. Dan Anda tahu, imajinasi adalah denyut debar jantung daripada puisi.
(tepuk tangan)
Semuanya datang dalam Sumpah Pemuda, seperti “Kami pemuda-pemudi Indonesia berbangsa satu” [padahal] pemuda-pemudi Indonesia itu belum ada, baru imajinasi. “Berbangsa satu”, ini juga baru imajinasi. Yang ada adalah bangsa-bangsa: bangsa Ambon, Sumatera dan sebagainya. Bangsa yang berada di Nusantara juga belum ada, yang ada adalah bangsa Netherlands Indie, yang menjadi ada Bumi Poetra. Berbahasa Indonesia juga belum ada. Yang ada adalah bahasa Melayu, yang lingua franca. Sekalipun itu belum ada, tapi sudah diyakini ada—di dalam sajak yang namanya Sumpah Pemuda. Bangsa ini diciptakan oleh Sajak Pemuda, dan hendaknya Anda berbangga, bahwa bangsa ini diberitakan oleh puisi. Tetapi anehnya zaman berjalan, orang kurang menghargai kepenyairan.
(hadirin tertawa)
Orang hanya dihargai kalau dia bergerak dalam sesuatu yang di luar puisi. Kalau dia aktivis sosial yang sibuk ke sana kemari, itu lebih dikenang daripada puisinya sendiri. Nah, itu saya kira satu hal yang belum tepat. Chairil adalah pahlawan karena perpuisiannya, bukan karena dia ikut shortcut ke sana-kemari berjuang di tahun 45. Dia memang melakukan perjuangan, tetapi itu biasa-biasa saja, tidak menyebabkan dia jadi pahlawan. Dia menulis kata, “Bung, ayo Bung!” dalam satu poster perjuangan yang dilukis Afandi [14:01]. Tetapi itu tidak menyebabkan dia menjadi pahlawan. Yang menyebabkan dia menjadi pahlawan adalah perpuisiannya itu: karena zaman memesan dia.
Chairil adalah pahlawan yang proses pembentukannya, semangat visinya sama dengan proses dan semangat kelahiran kemerdekaan bangsa ini. Suatu proses yang bermula sekitar awal pujangga baru, dengan “ayahnya”, Alisjahbana, sampai ke zaman revolusi fisik di mana dia mengeluarkan puisinya. Dan sebagai pahlawan, kita tahu, segala kesalahannya bisa dimaafkan—biarpun dia katakanlah mencuri sajak, dan segala macam—karena perpuisiannya yang diberikannya kepada bangsa ini jauh lebih besar dari kesalahannya. Di samping pahlawan, Chairil telah menjadi ikon atau lambang atau tanda bahasa. Sebutlah Chairil kepada lapisan masyarakat yang berpendidikan, maka orang tahu yang dimaksudkan adalah puisi modern. Mungkin kiranya jika kita sebut nama penyair lain yang tak kalah bagus sajaknya dibanding dengan Chairil, masyarakat umum akan lebih mengingat bukan kepada kepenyairan dari orang yang kita sebut tetapi lebih mengingat aktivitasnya, kehebatannya, keberaniannya, demo-demonya, dan lainnya; sementara Chairil tidak seperti itu, yang dilihat adalah sajaknya. Karena familiaritas namanya di kalangan masyarakat luas itulah, Chairil bisa menjadi bahasa untuk mempermudah kita mengkomunikasikan puisi ke masyarakat dalam upaya perluasan apresiasi puisi. Itulah sebabnya saya hadir di sini, supaya menggunakan Chairil sebagai alat politik kita.
(hadirin tepuk tangan)
Dengan menggunakan Chairil, itu adalah bahasa yang paling baik untuk mengkomunikasikan puisi Indonesia kepada masyarakat luas, kepada pejabat, kepada orang-orang desa yang berpendidikan biasa. Jadi, kita harus memakai Chairil sebagai bahan politik, yaitu politik kepenyairan itu sendiri, bukan politik partai yang mudah jatuh kepada korupsi.
(Presiden Penyair Indonesia ini tampak kehilangan teks yang sedang dibacanya. Sambil menekan-nekan tabletnya, ia bercanda, ‘heran..menyesal saya.. Ritme waktu bicaranya jadi jatuh, saya kan penyair, jadi ritme itu saya jaga’. [16:48] [16:52]
Chairil meninggal di tahun 1949. Waktu jalan. Dan Chairil sudah tidak tahu lagi apa nasib waktu. Sedangkan perpuisian Indonesia jalan terus sepanjang waktu. Sekitar 20 tahun setelah meninggalnya Chairil, para penyair kembali terpesona pada nilai-nilai lokal, pada grass root, pada kedaerahan nilai Timur, nilai-nilai akar-daerah tanpa melecehkan Barat. Mereka menggali dan memanfaatkan akar tradisi masing-masing untuk menciptakan puisi. Nilai-nilai tradisional kedaerahan yang dahulu di zaman polemik kebudayaan dicurigai bisa memakan semangat persatuan nasional, ternyata malah memperkaya warna-warni dan irama kesatuan bangsa.
Kesegaran kreatif yang baru bermunculan, yang asal muasal nafasnya bisa dicari pada semangat dan resep kultural dari mereka yang meng-counter Takdir dalam UU politik kebudayaan itu, yakni orang-orang seperti Sanusi Pane, Poerbatjaraka dan lain-lain.
Resep kultural dari penyair pujangga baru, Sanusi Pane, yang menganjurkan perpaduan nilai-nilai Timur dan Barat, menyatukan Paus dan Arjuna, telah dilaksanakan secara kreatif oleh para penyair kita sejak tahun 1970 sampai sekarang. Saya bicara tentang penyair, supaya ini kejadian di dunia teater, sastra, prosa, musik dan segalanya; unsur daerahnya diambil, yang marak sejak tahun 1970-an.
Singkat kata, sampai kini perjalanan dan perkembangan perpuisian Indonesia berada dalam dua sisi, atau sebutlah dalam dua sayap atau sepasang mata; katakanlah kanan dan kiri. Kedua sayap itu saling melengkapi, terbang menjelajahi dalam upaya menemukan nilai-nilai segar kemanusiaan dan bangsa. Kedua sayap ini berasal dari buah “kredo-budaya” (saya pakai tanda kutip karena belum ada yang bikin kredo. Sampai sekarang hanya satu orang yang bikin kredo, yaitu yang di depan Anda ini. Saya pakai tanda kutip supaya jangan besar kepala dulu), yaitu dua “kredo-budaya” dari zaman pujangga baru, yakni dari Sutan Takdir Alisjahbana cs. dan Sanusi Pane.
Sekian. Wassalamu’alaikum wr.wb.
~pembacaan selesai sampai di sini.
Pidato Kebudayaan Sutardji Calzoum Bachri di acara "Mengenang Chairil Anwar" 1
~Pentranskripsi dan Penyunting: Ali Muqi, Koordinator Master Transkrip
Rekaman Video: Pidato Kebudayaan Sutardji Calzoum Bachri
0 komentar :
Post a Comment