Selamat malam.
Panitia meminta saya berpidato
dengan judul “Mata Kiri Melihat Mata Kanan Sastra Indonesia”. Saya pikir-pikir,
judul itu terlalu ilmiah. Saya tidak suka: terlalu objektif. Kemudian, saya
pikir: Mata Kiri Melihat Puisi. Itu pun masih terlalu objektif. Saya mencari
yang lebih subjektif karena kita penyair, bukan peneliti.
(hadirin tertawa)
Yang akan saya pidatokan
di sini, judulnya sederhana, “Mengenang Chairil Anwar” (sambil menunjuk
Spanduk di belakangnya) dengan sub-judul: “Chairil Anwar sebagai Penyair
Pesanan”
(hadirin tertawa)
Kita tahu pada tahun
1900 muncul politik etis di Indonesia. Politik etis itu menimbulkan perasaan di
kalangan Bumi Poetra: perubahan. Perasaan ingin berubah ini bukan baru sekarang
ada; setiap perhimpunan itu ingin perubahan-perubahan. Perubahan ini penuh semangat,
dan dengan perubahan-perubahan ini muncullah berbagai upaya, antara lain adanya
organisasi-organisasi seperti Syarikat Dagang Islam, Boedi Oetomo. Semua itu adalah
organisasi yang membangkitkan semangat nasional, yang akan mengantarkan kita
kepada Republik Indonesia merdeka.
Di dalam kehidupan perpuisian,
semangat pembaharuan ini tercerminkan dalam upaya…
Apa ini? Upaya liar
banget ini? (sambil berusaha ‘mencubit-cubit’ tablet-nya. Sepertinya SCB
kesulitan menggunakannya. Hadirin pun tertawa keras)
… dalam upaya penyair
bidang kehidupan perpuisian, semangat pembaharuan ini terceminkan dalam upaya
para penyair pujangga baru yang melakukan perubahan terhadap puisi tradisional,
yang diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan zaman, baik di bidang puisi
maupun di bidang yang temanya bernafaskan kesatuan bangsa.
Para penyair, sebagaimana
hakikatnya penyair atau sastrawan, mereka itu tidak menulis di atas kertas
kosong—Tidak ada orang yang menulis di atas kertas kosong—Mereka menulis
di atas tulisan. Semua orang menulis di atas tulisan. Maksudnya, di atas kertas
di mana budaya dan puisi seperti tradisi itu dituliskan sebelumnya. Mereka menulis
di atas pantun, di atas syair, di atas talibun, di atas seloka. Mereka menulis
di atas akar kulturnya sendiri. Sambil berupaya melakukan—dalam semangat
perubahan itu—perubahan-perubahan. Dalam semangat perubahan-perubahan ini,
mereka akan mengambil perpuisian Italia [3:33], yaitu bentuk Soneta. Meskipun ada
pengamat berpendapat, pengambilan bentuk-penampilan soneta hanyalah berupa
bentuk isi saja dan tidak menimbulkan efek kejiwaan, namun bagi saya, ini
menunjukkan bahwa sejak masa awalnya pujangga baru sudah melihat alternatif
untuk melakukan pembaharuan dengan melihat kemungkinan dari kebudayaan dan
nilai-nilai Barat.
Tidak mudah kiranya
melakukan pembaharuan terhadap tradisi perpuisian tradisional, sehingga ihwalnya
kita lihat bagaimana gagalnya penyair Roestam Effendi, yang kurang berhasil dalam
melakukan perubahan-perubahan terhadap syair ataupun pantun. Namun, bagi para
penyair kuat-bakat seperti Amir Hamzah, meskipun masih dalam kawasan suasana
syair atau pantun, ia tidak terhalang dan bahkan berhasil mengekspresikan diri
secara segar sesuai dengan zaman. Bahkan sampai sekarang pun, sajak-sajaknya
yang terbaik tetap terasa segar. Kiranya kenyataan ini menunjukkan bagi saya
bahwa tradisi bukanlah masalah. Unsur tradisi tetap bisa menyuarakan kehendak
zaman, tergantung bagaimana mengelolanya.
Berlanjut dengan
perjalanan waktu, semangat pembaharuan ini semakin kental. Para intelektual
semakin bergairah merancang, memikirkan bagaimana mengisi sisi kultural dari
bangsa Indonesia yang kelak akan merdeka. Timbullah di tahun 1935 di suatu
majalah, ada suatu polemik kebudayaan, yakni polemik antara pandangan dan sikap
dari Sutan Takdir Alisjahbana yang menyarankan agar..
Liar betul ini
(tabletnya).. saya mau print-out, tapi saya tak tahu caranya.. jadi begini
aja..
(hadirin tertawa)
Waktu sudah mendesak. Liar
betul ini.. ini binatang jalang.. Betul itu, Chairil tidak ada apa-apanya dengan
ini (sambil menunjuk tabletnya)
(hadirin semakin tertawa
diiringi riuh tepuk tangan)
…agar mengambil
kebudayaan Barat dan meninggalkan tradisi kedaerahan, provinsianism,
kalau bangsa ini ingin maju dan melakukan perubahan sesuai kehendak zaman.
Jadi Takdir ingin
tinggalkan yang di daerah-daerah itu, yang akar-kultur, grass root itu buang
saja, kita ke Barat saja, katanya.
Di sisi lain, pendapat
tadi mendapat bantahan dari Sanusi Pane, dari Poerbatjaraka, yang mengingatkan
agar jangan sama sekali memutuskan hubungan kebudayaan daerah.
“Jangan sama sekali
memutuskan hubungan kebudayaan daerah”.
Ingat kata-katanya ya: ‘JANGAN
SAMA SEKALI’, itu bahasa Melayu yang bagus. Sekarang, [kata] jangan kok
[disandingkan dengan kata] pernah! Pernah itu tidak ada dalam bahasa Indonesia.
‘Don’t you ever..’ Itu dari bahasa Inggris! Jangan kau pernah sekali-kali
datang ke rumah dia, jangan kau pernah mencintai dia. Pernah itu tidak ada.
Jadi, [yang benar adalah] ‘jangan sama sekali’.
Sekarang saya sudah betulkan, karena saya orang Melayu.
(hadirin tertawa)
Sanusi Pane dan kawan-kawan
ingin menjadikan kebudayaan Indonesia sebagai manifestasi perpaduan antara Paus
dan Arjuna. Saya kutipkan, “haluan yang sempurna ialah menyatukan Paus dengan
Arjuna. Memadukan materialisme, intelektualisme dan individualisme dengan spiritualisme,
perasaan dan kolektivisme”. Politik ini berlangsung selama
bertahun-tahun. Kedua belah pihak masing-masing gigih mempertahankan
argumentasinya. Masing-masing pihak dengan mantap mengeluarkan jurus atau resep-kultural
untuk Indonesia yang bakal Melayu itu. Namun, betapapun hebatnya argumentasi
yang dipaparkan dari kedua belah pihak, tetaplah ia hanya merupakan mimpi, angan-angan,
harapan, selama belum muncul sebuah karya kreatif dari resep-kebudayaan yang
dijagokan. Polemik ini berlangsung bertahun-tahun sambil menunggu suatu karya
kultural kreatif untuk mendapatkan pembenaran untuk menentukan siapa pemenangnya.
Sampai akhirnya pada
tahun 1940-an, muncul sajak-sajak Chairil Anwar yang membuktikan lewat
kreativitas, semangat dinamika vitaslitas Barat yang menerjang bagai ombak,
mendebur. Yang sering diungkapkan dan dijagokan Alisjahbana itu tertuangkan
dalam bentuk karya kreatif dari puisi Chairil Anwar.
~Pentranskripsi dan Penyunting: Ali Muqi, Koordinator Master Transkrip
Rekaman Video: Pidato Kebudayaan Sutardji Calzoum Bachri
~Pentranskripsi dan Penyunting: Ali Muqi, Koordinator Master Transkrip
Rekaman Video: Pidato Kebudayaan Sutardji Calzoum Bachri
0 komentar :
Post a Comment